InsanNews – Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket DPRD Sulawesi Selatan terus mendalami penjalanan dinas Gubernur Sulsel, Nurdin Abdullah ke Jepang yang diduga fiktif.
Perjalanan Dinas Nurdin Abdullah keluarga negeri yang diungkap Kepala Biro Umum dan Perlengkapan Pemprov, Muh Hatta beberapa hari lalu, kembali dipertanyakan pansus dalam sidang hak angket, Jumat (26/07/2019) malam.
“Ahli, apakah diperbolehkan menggunakan belanja APBD yang tidak ada dalam nomenklatur,” kata anggota Pansus, Fahruddin Rangga kepada saksi ahli yang dihadirkan dalam persidangan, Seperti dilansir dari tribun-timur.com
Pansus Angket DPRD Sulsel yang diketuai Kadir Halid, menghadirkan saksi ahli dari Kepala Perwakilan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Sulsel, Arman Sahri Harahaf.
“Secara spesifik saya tidak bisa menjawab karena saya tidak tahu kasusnya dan normanya saya tidak tahu,” kata Arman di ruang sidang Angket.
Arman mengatakan untuk memberikan pandangan harus melalui pemeriksaan dulu untuk mengetahui kebenaran materilnya.
“Tapi norma pada umumnya belanja itu bisa dilakukan jika sudah ada pos anggaranya. Artinya ada aturan yang mengeluarkan bisa dilakukan jika ada anggaranya,” ujarnya.
Perjalanan dinas fiktif Gubernur NA terbongkar ke publik saat mantan Kabiro Umum Pemprov Sulsel, Muhammad Hatta mengungkapkan sejumlah kejanggalan perjalanan dinas.
Salah satunya saat berkunjung ke Jepang, Desember 2018 lalu. Bahkan dugaan kuat, travel yang digunakan dalam perjalanan keluar negeri oleh NA adalah milik orang terdekat.
Hatta menerangkan, pada akhir Desember 2018, dirinya diminta mempersiapkan dana untuk kunjungan luar negeri Nurdin Abdullah ke Jepang.
Dalam rombongan itu, selain Nurdin Abdullah terdapat beberapa staf Tim Percepatan Pembangunan Daerah (TP2D) yang statusnya bukan ASN Pemprov Sulsel.
“TP2D tidak masuk anggaran Biro Umum. Ini anggaran 2018, ada perjalanan luar negeri tapi nomenklaturnya adalah kepala daerah dan wakil kepala derah, ada posnya di situ. Untuk staf tidak ada posnya,” sebutnya.
Tak hanya itu, panitia pansus juga dalam persidangan menyinggung soal pemberian gaji untuk staf khusus sebesar Rp Rp 8,8 juta.
“Saya belum dapat membaca peraturan yang mengatur tentang gaji staf ahli. Bolehkah dilakukan kontra pribadi seperti kontra DPT. Misalnya pemprov menjadikan dasar kontrak pibadi. Seperti honorer,” tanya Imran anggotan pansus.
“Kembali lagi pada normalnya . Tidak diperbolehkan jika tidak ada anggaranya,” kata Ahli BPKP.(SR)