
Meski etnis ini termasuk tua, tetapi baru mendapat pengakuan non formal sebagai etnis dari pemerintah daerah kabupaten Pinrang atas desakan Keluarga Besar Pattinjo (Kesarpati) dalam deklarasi akbar pada tahun 2014.
Tau pattinjo, dulunya dikenal tau pabbuttu atau orang yang berasal dari gunung. Pattinjo mendiami separoh wilayah kabupaten Pinrang yang tersebar di Batulappa, Lembang, Duampanua, dan Patampanua.
Dalam sejarah pembentukan kabupaten Pinrang, kerjaan di daerah ini cukup berpengaruh. Swapraja Kassa dan Swapraja Batulappa termasuk 2 dari 5 kerjaan yang menjadi penyangga terbentuknya Pinrang sebagai kabupaten pada tahun 1960.
Fakta sejarah tetsebut merupakan hasil riset yang dilakukan oleh KPMP digawangi oleh cendekiwan muda tahun 1980an, seperti A. Pangeran Moenta, Abbas Hady dkk. Sejarah ini dibacakan tiap kali Hut Kabupaten Pinrang diperingati bulan Pebruari tiap tahunnya.
Sebelum Pinrang terbentuk sebagai kabupaten, etnis Pattinjo mendiami banyak kerajaan atau perkampungan. Misalnya Letta, Batulappa, Kassa, Bakaru, dll. Tau pattinjo memiliki bahasa sendiri, yang beda dengan bahasa Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja. Tau pattinjo dikenal sebagai tau barani (pemberani).
Rabu, 8 Mei 2019 bertepatan 3 Ramadhan, kami masyarakat Pattinjo yang berdomisili di kota Parepare berkumpul bersama melakukan silaturrahmi dan buka puasa. Bagi kami masyarakat pattinjo, silaturrahmi dan kekeluargaan merupakan ajaran leluhur.
Rasa kekeluargaan sangat kental dalam ikatan kekerabatan yang disebut “mangandi”. Mangandi merupakan ikatan kekeluargaan turun menurun yang tertumpu pada satu nenek moyang. Jika kita satu nenek moyang, maka kita mangandi.
Pappangandianna to tau pantinjo tidak mengenal sekat waktu dan tempat. Di mana pun saudara berada, jika masih satu nenek moyang maka kita mangandi.
Mangandi merupakan nilai-nilai kearifan lokal yang harus menasional untuk menghidupkan semangat kebhennekaan bangsa yang terkadang redup dalam arena politik kebangsaan.
Nilai-nilai mangandi itu perekat kekeluargaan untuk saling menyapa, bergotong royong, membantu dan tolong menolong. Jika masyarakat Indonesia terikat dalam ke-mangandi-an, maka bisa dibayangkan tatanan kehidupan berbangsa, akan terbangun secara damai, rukun dan harmonis.
Penulis: Suherman Syach
